21 March 2009

P3K2 mendorong Partisipasi Perempuan untuk Pembangunan Kota Kediri melalui Perda Transparansi Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat

Pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang merupakan komitmen dari Pemerintah Indonesia dengan PBB di tahun 2015, menyebutkan adanya kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak atas partisipasi bagi rakyatnya. MDGs meliputi penghapusan kemiskinan dan kelaparan, pencapaian wajib belajar pendidikan dasar untuk anak laki-laki dan perempuan, peningkatan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian bayi, peningkatan kesehatan ibu, penangangan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, serta pembangunan lingkungan berkelanjutan.
Perempuan bersuara
Peluang partisipasi masyarakat akan terbuka berupa dukungan terhadap transparansi dan akuntabilitas jalannya pemerintahan atau Good Governance. Adanya sinergitas antara masyarakat dan pemerintah adalah prasyarat pembangunan dalam rangka mensejahterakan seluruh bangsa. Partisipasi perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadi strategis bila mencermati poin-poin dalam MDGs yang sangat berkaitan dengan aktivitas kader-kader perempuan di tingkat akar rumput.
Gambaran partisipasi perempuan Kota Kediri bisa dilihat dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2004, terlihat bahwa Indeks Pembangunan Jender (IPJ) Kota Kediri lebih besar daripada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Salah satu komponen IPJ menunjukkan bahwa perempuan Kota Kediri memiliki kontribusi dalam pendapatan lebih besar daripada laki-laki. Sedangkan partisipasi perempuan Kota Kediri secara nyata di lapangan adalah sebagai kader-kader di masyarakat dalam Posyandu, PKK, PAUD, Jumantik, Gerdu Sehati dan sebagainya. Berdasarkan RKPD Kota Kediri Tahun 2009, jumlah kader perempuan mencapai 3.220 orang.
Kondisi kontradiktif dari gambaran diatas nampak pada partisipasi politik perempuan Kota Kediri. Kota Kediri Dalam Angka (KDA) 2007 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPRD hanya 3,3%. Di bidang pemerintahan yang strategis untuk pengambilan kebijakan, PNS perempuan sejumlah 37,65% dan pegawai BUMN/BUMD perempuan 10,24%. Jumlah Polwan di Polresta hanya 5,21% yang menyebabkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi kurang optimal.
Berdasarkan data yang dihimpun dari pelaksanaan Musrenbang Tahun 2008, kehadiran peserta perempuan dalam Musrenbang Kelurahan 11,43%. Sementara dalam Musrenbang Kecamatan dan Musrenbang Kota masing-masing 21,9% dan 23,13% dimana delegasi perempuan didominasi dari SKPD, artinya bukan perwakilan dari masyarakat.
Analisa singkat dari berbagai data diatas adalah minimnya partisipasi perempuan secara strategis dalam pengambilan kebijakan pembangunan dapat mengurangi peluang efektifitas keberhasilan pembangunan dan efisiensi pelaksanaan Good Governance, karena perempuan kurang dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan. Partisipasi perempuan masih sebatas partisipasi praktis implementatif, bukan strategis.
Perempuan sebagai bagian dari masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengambilan kebijakan pembangunan, sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. PP 69/ 1996: Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
2. UU 9/ 1998: Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
3. UU 28/ 1999: Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
4. UU 39/1999: Hak Asasi Manusia
5. PP 68/1999: Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara
6. PP 71/2000: Tata Cara dan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7. Inpres 9/2000: Pengarusutamaan Gender
8. Kepmendagri 29/2002: Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD
9. Kepmendagri 132/2003: Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah
10. UU 10/2004: Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
11. UU 25/2004: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
12. UU 15/ 2004: Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
13. UU 33/2004: Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
14. SE Mendagri 414.2/2435/SJ tanggal 21 September 2005: Pedoman Umum Pengelolaan Pembangunan Partisipatif
15. Permendagri 30/2007: Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2008.
Hearing P3K2 dengan DPRD
Berbagai ide dan inisiatif terkait peningkatan partisipasi perempuan telah muncul melalui pelaksanaan Rembug Komunitas Perempuan oleh Paguyuban Peduli Perempuan Kota Kediri (P3K2) di beberapa kelurahan. Menjelang pelaksanaan Musrenbang di tahun 2009, komunitas perempuan akan mempersiapkan diri dengan baik agar pemenuhan kebutuhan perempuan bisa terealisasi dalam program-program pembangunan yang responsif gender. Selain melaksanakan Rembug, P3K2 telah melakukan dialog dengan para pengambil kebijakan di Kota Kediri, mulai dari tingkat kelurahan sampai kota, untuk mendorong partisipasi perempuan secara strategis dalam pengambilan kebijakan.
Upaya tersebut dirasa belum optimal, selain karena belum nampak adanya peningkatan partisipasi strategis perempuan, juga bahwa data dan informasi terkait perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan beserta aturannya sulit diakses. Usulan komunitas perempuan dalam Musrenbang 2008 tidak bisa dikawal karena tidak bisa mendapatkan dokumen RKPD, pelaksanaan proyek-proyek di kelurahan tidak diinformasikan secara terbuka sehingga kader perempuan tidak mengetahuinya ataupun mendapatkan manfaatnya, pengurusan administrasi kependudukan sering tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, adalah sebagian kondisi nyata kurangnya transparansi pemerintahan.
P3K2 sebagai organisasi perempuan yang memiliki visi mewujudkan perempuan Kota Kediri berdaya dan berbudaya, berkepentingan untuk ikut serta secara aktif dan strategis dalam proses perencanaan dan pengawalan pembangunan. Kelompok perempuan bisa mendapatkan informasi dan peluang untuk mengajukan dan mengawal usulan program-program responsif gender.
Untuk memperkuat upaya tersebut, P3K2 mendorong adanya Peraturan Daerah Kota Kediri tentang Transparansi Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat. Perda ini merupakan wujud komitmen Pemerintah Kota Kediri, baik eksekutif maupun legislatif, untuk menjalankan transparansi pemerintahan sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat dan melaksanakan program pembangunan yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
P3K2 - Januari 2009

16 March 2009

Perempuan Pedesaan dan Beban Gandanya

Perempuan pencari kayu bakar dari Petungsewu Jugo
Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri
Walau lahan sudah menjadi milik kota
Bukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejati
Negara harus berpihak pada para petani
Entah bagaimana caranya desalah masa depan kita
Keyakinan ini datang begitu saja karena aku tak mau celaka
Desa adalah kenyataan
Kota adalah pertumbuhan
Desa dan kota tak terpisahkan tapi desa harus diutamakan
Di lumbung kita menabung
Datang paceklik kita tak bingung
Masa panen masa berpesta
Itulah harapan kita semua
-Iwan Fals-


Makna syair diatas bisa jadi hanya sekedar nostalgia ataupun sebatas retorika dalam 10 sampai 20 tahun kedepan. Gambaran desa ideal menjadi terdekonstruksi oleh pembangunan berdimensi perkotaan di zaman yang katanya era millenium sekarang ini. Perspektif modernisasi dan globalisasi telah menjadi simbol peradaban yang tertancap di setiap kepala orang kebanyakan. Mereka menganggap kota adalah pusat modernitas dan kemajuan zaman. Berbagai teori dan analisa berusaha mencari sebab munculnya perspektif diatas yang seringkali sulit dicerna oleh pikiran orang awam.
Orang awam ini adalah orang-orang dengan akses informasi minim, akses kebutuhan dasar minim, pokoknya minimalis dalam segala hal. Ironisnya, orang awam ini notabene bertempat di desa-desa dan sebagian mereka adalah petani. Rasanya kita perlu bertanya lagi, masihkah negeri ini disebut negeri agraris? Masihkah bekerja sebagai petani bisa menjadi sumber penghidupan yang layak? Dikombinasikan dengan perspektif di awal tadi, rasa-rasanya petani layak dianugerahi gelar “pahlawan bangsa”, artinya sudah terkubur dalam tanah dan namanya tercantum dalam buku sejarah.
Di wilayah pedesaan tidak hanya petani saja, masih ada yang namanya perempuan yang juga merasakan dampak langsung dari globalisasi. Nama yang satu ini belakangan sering disebut-sebut sebagai satu kelompok masyarakat yang perlu “dibantu”. Entah pemberdayaannya, ekonominya, moralnya atau apanya lah. Nasib perempuan dimanapun di ujung dunia sampai di desa terpencil di Indonesia tidak jauh berbeda jika ditelusuri akar masalahnya. Perempuan pedesaan pun paham bahwa mereka sudah digariskan menjadi bagian dari laki-laki sejak turunnya Adam dan Hawa dari surga. Artinya, budaya patriarkhi menjadi kontradiktif dengan aktualisasi perempuan.
Jadi ada tiga kata: globalisasi, pedesaan, dan perempuan. Perempuan ada di paling belakang. Artinya dia menerima dampak dari makna luas dua kata sebelumnya: perempuan dan globalisasi, perempuan pedesaan. Perempuan menerima beban ganda.
Begitulah gambaran umum pemahaman singkat hasil proses belajar dari lingkungan. Di perkotaan dengan segala kemudahan dan modernitasnya, banyak kontradiksi dengan keadaan di pedesaan. Namun meng-kota-kan desa menimbulkan fenomena tersendiri berupa efek posotof dan negatifnya.
Kondisi yang bisa ditemui adalah sebagai berikut:
Di wilayah pegunungan seharusnya air melimpah karena dekat dengan sumbernya. Kenyataannya, hutan makin gundul, sumber air jadi mengering padahal musim kemarau makin panjang. Air yang masih tersisa menjadi dilematis penggunaannya, apakah untuk pengairan atau kebutuhan rumah tangga yang lebih diutamakan.
Soal pengairan adalah urusan laki-laki. Adanya Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) yang anggotanya semua laki-laki untuk mengelola sistem pembagian air, harus berhadapan dengan perempuan yang bertanggung jawab untuk urusan air minum, memasak, mandi dan mencuci.
Problem ini makin terlihat saat adanya Proyek WSLIC (Water Sanitation for Low Income Communities) yang didanai Asian Development Bank (ADB) berupa pembangunan fasilitas akses air untuk kebutuhan rumah tangga. Beberapa ladang menjadi tidak terairi akibat saluran dari sumber air dialihkan ke rumah-rumah. Karena semua institusi yang ada di desa dikuasai laki-laki, artinya secara politis perempuan dikalahkan, akhirnya program tersebut menjadi mubadzir. Apalagi memang belum ditemukan solusi tepat atas masalah kekeringan di musim kemarau.
Artinya program dari dana hutang tersebut tidak menyelesaikan akar masalahnya, malah menimbulkan masalah baru berupa konflik horisontal antar warga sebagai pengelola program dan pengguna air, serta makin lemahnya posisi perempuan. Disini keterlibatan perempuan dalam program hanya sebagai pelengkap dan bersifat temporer saja, tidak ada penguatan posisi tawar dalam forum-forum penting di desa secara berkelanjutan.
Kemudian, sejak tahun 2002 bergulir Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan memakai prinsip pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam pengelolaan bantuannya. Proyek ini didanai World Bank. Selama proses sosialisasi, para pengelola program sampai tingkat desa paham asal dan proses turunnya dana. Namun informasi ini tidak sampai ke masyarakat tingkat bawah sebagai sasaran program. Mereka sama sekali tidak paham bahwa program ini ada kaitannya dengan makin maraknya barang-barang impor berharga murah, berkurangnya subsidi BBM dan pupuk sekarang ini.
Secara positif program ini memintarkan masyarakat terutama dalam hal administrasi dan adanya pembangunan fisik menunjukkan keberhasilan secara kasat mata. Namun pembangunan non fisik atau peningkatan SDM malah menurun derajatnya. Ini bisa dilihat dari munculnya konflik horisontal dengan makin menjauhkan mereka dari nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan. Kesibukan mengelola administrasi, biasanya dipegang oleh perempuan, yang sangat njelimet membuat aktivitas keseharian khas pedesaan mereka menjadi berkurang.
Dalam program ini perempuan mendapat fasilitas khusus berupa Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Namun kegiatan ini terkesan dipaksakan karena ada uang dan bukan muncul dari kebutuhan, menjadikan si peminjam musuh bagi si pengelola. Banyak ibu-ibu yang sebenarnya sangat perlu bantuan modal, seperti para janda, takut mengikuti kegiatan ini karena merasa tidak punya kemampuan dalam mengembangkan usaha dan mengelola keuangan. Apalagi sudah jamak di pedesaan kalau ibu-ibu ini pendidikannya rendah, rata-rata setingkat SD. Merekapun rata-rata adalah petani dan pikirnya, sekarang ini usaha produktif apa yang bisa dikembangkan dalam pertanian disaat sektor ini sudah tidak menjanjikan keuntungan lagi.
Tidak banyak dari para perempuan itu yang bisa mengerti meski sudah diberitahu bagaimana proses yang terjadi sebelum proyek ini turun serta dampaknya, saking rumitnya. Bagi yang mengerti, mereka sebut program jeruk minum jeruk, utang kok dipakai utang! Dalam pola pikir sederhana yang mereka pahami atas ekses dari proyek ini, digabungkan dengan berita yang mereka tonton di televisi dan gaya hidup orang-orang disekeliling mereka belakangan ini, apa maksud dari negara maju pemberi bantuan ini? Sementara produk mereka, kebanyakan barang elektronik, membanjiri pasaran di Indonesia dengan harga yang makin murah. Ini namanya bentuk penjajahan baru! Begitu mereka memahami Sistem Globalisasi.
Proyek lain yang didanai World Bank juga sebagai hutang pemerintah adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Meski namanya ada perkotaan-nya, tetapi proyek ini turun di desa-desa yang bahkan jauh lebih terpencil dari desa penerima PPK. Sepertinya kedua proyek ini saling bahu-membahu dengan konsep yang tidak jauh berbeda, dimana tidak ada desa yang rangkap mendapat dua proyek ini sekaligus.
Fasilitator sekaligus konsultan P2KP kebanyakan berasal dari LSM sehingga kerangka modul yang disusun terlihat sangat ideal dengan konsep pendidikan rakyat yang memberdayakan. Sepertinya dan memang, P2KP punya konsep yang lebih rumit. Karena munculnya belakangan, masyarakat menjadi pragmatis pemahamannya. Kata mereka, ya sudahlah ikuti saja semua formalitas itu asalkan dananya segera turun. Mereka sudah kebelet terima uang setelah melihat desa sebelah sudah duluan dapat. Lalu apa gunanya modul yang sudah disusun menjadi buku yang tebal dan bertumpuk-tumpuk itu, padahal dalam prakteknya seperti ini. Dan herannya itu terjadi didepan mata para aktivis LSM yang sudah punya pengalaman terjun di masyarakat selama bertahun-tahun.
Lagi-lagi keterlibatan perempuan dalam kedua proyek terakhir hanyalah semu. Artinya menjadi syarat mutlak dalam konsep dan pelaksanaannya, namun tetap saja posisi perempuan lemah di masyarakat secara politis dan sosial budaya.
Dalam proyek mensyaratkan kehadiran sekian persen perempuan dalam musyawarah perencanaan program, sekian persen perempuan terlibat sebagai pengelola program. Namun setelah sekian tahun proyek berjalan, perempuan masih tidak punya kesempatan ikut serta dalam pemilihan Ketua RT sekalipun, apalagi Kepala Desa atau Ketua Kelompok Tani. Nama perempuan masih mengekor nama suaminya, meski nyatanya mereka lebih pintar dan bekerja lebih keras. Para perempuan pedesaan ini tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri.
Seorang teman perempuan yang menjadi Fasilitator Kecamatan dalam PPK karena diberi kesempatan khusus bagi perempuan, menyatakan sangat pusing mempelajari modul program berupa puluhan buku-buku tebal dalam waktu singkat. Apalagi dia tidak punya pengalaman di masyarakat sebelumnya. Memang modul itu lebih mudah dipelajari bila sudah pernah terjun di masyarakat. Jadi jangan berharap padanya akan keberpihakan pada para perempuan penerima proyek.
Implementasi program disamaratakan pada desa-desa dengan kondisi geografis, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda. Fasilitator Kecamatan tidak mau tahu soal itu. Ini menjadi beban berat tersendiri bagi perempuan dengan kondisi fisik terbatas harus beraktifitas di medan yang berat dan jauh dari ibukota kecamatan. Ada seorang perempuan Fasilitator Desa tidak bisa mengendarai sepeda motor sehingga tergantung pada kebaikan orang lain, kalau tidak ada yang lagi berbaik hati maka dia harus naik angkutan umum yang biayanya melebihi honor yang dia dapatkan dari program. Ini namanya program memperdayakan, katanya.
Para perempuan ini jadi bertanya-tanya, terus apa pengaruhnya sekian banyak proyek, program dan dana bantuan dari pemerintah. Sementara mereka masih pusing tujuh keliling kalau ada anggota keluarganya yang sakit, harus darimana uang mereka dapatkan untuk biaya pengobatan.
Di wilayah pedesaan yang terpencil masih sangat minim fasilitas kesehatan, meski sudah ada dalam aturan pemerintah mengenai fasilitas yang memadai. Ada desa yang Posyandunya tidak ada, Polindesnya tidak jalan, bidan desanya tidak menetap di desa padahal Puskesmas dan Rumah Sakitnya sangat jauh.
Perangkat desa tidak bisa menjalankan tugas melayani masyarakat dengan baik, karena mereka harus memikirkan kesulitan hidup mereka sendiri di daerah minus. Ini menjadikan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) tidak bisa termanfaatkan karena masyarakat tidak menerima sosialisasi tentang prosedur yang benar. Padahal perangkat desalah yang bertanggung jawab atas semua fasilitas kesehatan.
Para perempuanlah yang paling peduli kesehatan keluarganya, terutama kesehatan anak dan orang tua. Perempuan pedesaan kebanyakan ikut bekerja produktif, selain domestik, terdesak oleh meningkatnya kebutuhan hidup sekarang ini. Betapa sibuknya seorang perempuan disaat anak dan atau orangtuanya sakit karena harus merawat mereka, disamping tetap bekerja di sawah ladang dan di rumah tangga.
Perempuan pedesaan lebih sering sakit karena banyaknya jam kerja dalam sehari dengan aktifitas fisik yang berat. Belum lagi tidak adanya perhatian tentang masalah kesehatan reproduksi dalam pelayanan kesehatan oleh pemerintah, sehingga penyakit reproduksi perempuan seringkali tidak tertangani dan berakibat fatal. Sakit ”delepen” saat menstruasi dikasih obat sakit maag dari Puskesmas. Kanker rahim tidak terdeteksi sejak dini, baru ketahuan setelah mencapai stadium lanjut, dan setelah menghabiskan biaya pengobatan yang sangat besar, perempuan sudah tidak bisa tertolong lagi.
Banyak perempuan yang tidak tahu bahwa perempuan disebut-sebut berfisik lemah adalah karena secara biologis alat reproduksinya lebih rentan penyakit. Ini karena alat reproduksinya lebih banyak, lebih terbuka dan lebih sering berfungsi lebih berat. Secara psikologis, fungsionalisasi dari alat reproduksi mempengaruhi hormon-hormon tubuh yang membuat perempuan lebih sensitif dan emosional. Dalam kondisi seperti ini mereka harus tetap bekerja demi kelangsungan hidup keluarga.
Informasi tentang kesehatan berbasis gender seperti itu sangat minim di pedesaan. Apalagi kenyataannya dalam keluarga, kesehatan laki-laki lebih diutamakan karena asumsinya sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama, penanggung jawab atas seluruh anggota keluarga. Kesehatan perempuan sering diabaikan.
Perempuan tidak memahami bahwa biaya rumah sakit meningkat akibat berkurangnya subsidi kesehatan, obat makin mahal akibat bahannya impor dan hak ciptanya dikuasai luar negeri. Mereka tidak memahami bahwa itu semua berasal dari Sistem Globalisasi yang sedang berjalan.
Wajah muram perempuan juga terlihat di bidang pendidikan. Ibu-ibu zaman dulu berpendidikan SD saat bapak-bapaknya bisa mencapai SMP. Anak-anak perempuan zaman sekarang berpendidikan SMP saat anak-anak laki-lakinya berpendidikan SMA. Ini karena kultur yang masih mengutamakan laki-laki karena akan bekerja diluar rumah sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Sedang perempuan tidak perlu bersekolah tinggi kalau pada akhirnya hanya untuk kembali ke dapur alias di rumah saja.
Pembangunan keluarga sejahtera menjadi terhambat akibatnya. Ini karena banyaknya pernikahan dini yang memicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dini dan buruh migran. Semuanya notabene perempuanlah yang dirugikan akibat tingkat pendidikan mereka yang rendah. Bagaimana mereka kemudian bisa mendidik anak-anak masa depan bangsa dengan baik? Karena pendidikan anak dalam keluarga lebih banyak diserahkan pada perempuan yang punya banyak waktu di rumah dan dekat dengan anak.
Musyawarah tingkat desa membahas tentang pendirian TK misalnya, tidak melibatkan perempuan, karena kebiasaan mengadakan pertemuan pada malam hari saat ibu-ibu harus menidurkan anaknya atau dianggap bukan orang baik-baik kalau sering keluar malam. Hasilnya, makin lama muridnya makin habis dan TK pun bubar.
Ibu-ibu tidak habis pikir mengapa biaya sekolah anaknya makin mahal. Sementara mereka harus memutar otak mengelola keuangan rumah tangga. Mereka tidak paham terjadinya privatisasi pendidikan, belum lagi soal privatisasi kelistrikan, telekomunikasi, air, tanah dan kesehatan.
Kembali lagi di pedesaan dimana kita temui petani. Bagaimana di tingkat internasional ada jaring-jaring globalisasi yang sangat mengikat petani sampai ke desa, sulit dimengerti terutama oleh perempuan. Mereka makin tersingkir dari sawah ladangnya, tidak lagi memakai ani-ani waktu panen padi, tidak ada lagi benih yang bisa mereka produksi sendiri dan tahan lama jika disimpan, tidak ada obat-obatan alami yang biasa mereka racik mampu mengurangi serangan hama dan penyakit pada tanaman. Padahal dengan pengetahuan tradisional mereka itulah kelestarian alam dan keberlanjutan hidup di bumi ini bisa terjamin.
Padi varietas unggul introduksi luar negeri tidak bisa dipanen dengan ani-ani, seperti padi jenis IR dari Filipina. Benih hibrida varietas unggul diproduksi dan dipatenkan perusahaan transnasional yang beroperasi di Indonesia. Seperti yang sedang terjadi adalah kasus petani benih dengan PT. BISI di Kediri, dimana petani dikriminalisasi karena dianggap menangkarkan benih jagung BISI dan meniru cara tanamnya tanpa ijin. Perusahaan mendapatkan benih induk dari Charoen Seeds Co., Ltd. Thailand.
Aturan yang digunakan untuk menjerat petani adalah UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selama proses litigasi terjadi keganjilan atas persepsi undang-undang oleh aparat penegak hukum yang lebih berpihak pada perusahaan. Padahal pengetahuan pembenihan sudah dikuasai petani sejak dulu, sebelum adanya perusahaan benih tersebut. Sejatinya, penguasaan benih ada pada petani dan ini harus dilindungi oleh pemerintah.
Perusahaan multinasional dengan banyak unit produksi, seperti Monsanto, Syngenta, Bayer, Dupont, memonopoli sarana produksi pertanian berupa benih, pupuk, pestisida sampai teknologinya. Tidak terkira kerusakan alam yang diakibatkan semua bahan kimia dan produk sintetis mereka dalam jangka panjang. Tidak terkira beragam penyakit muncul, sepeti kanker rahim dan payudara pada perempuan akibat tingginya kadar kimia pupuk dan pestisida dalam makanan dan di lahan dimana sehari-hari mereka geluti. Resiko penyakit bisa juga ditimbulkan dari benih transgenik yang kasusnya terbukti merugikan petani kapas di Bulukumba.
Kondisi terkini, petani menjadi ketakutan menanam dan memproduksi benih. Ini mengganggu produktivitas mereka dalam bertani. Anehnya, pemerintah yang harusnya melindungi petani malah lebih berpihak pada perusahaan, seperti dengan rencananya mensubsidi benih unggul. Tentu saja benih produksi perusahaan besar, dan subsidi itu bagi petani jadi kelihatan semu.
Penyaluran pupuk bersubsidi melalui kelompok tani, prakteknya di lapang juga tidak tepat sasaran. Lagi-lagi perempuan dirugikan dengan tidak masuk dalam kelompok tani. Padahal ada beberapa kelompok tani perempuan yang aktif namun tidak diakui oleh pemerintah. Seringkali petani perempuan lebih mampu menerapkan pertanian organik yang menjadi solusi atas permasalahan pupuk, pestisida dan benih. Ironisnya, di Kabupaten Kediri yang lahan pertaniannya luas, Bupatinya berkeyakinan tidak mungkin diterapkan pertanian organik, padahal dia adalah anak petani dan mantan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL).
Permasalahan tanah sebagai basis produksi petani tidak pernah habis. Sampai terjadi kriminalisasi pada petani perempuan di Kediri yang bertani di tanah yang telah diusahakan selama bertahun-tahun oleh nenek moyang mereka. Kasus ini menjadi politis karena mereka tidak tahu benar duduk persoalannya sehingga hanya menjadi tameng dan untuk menakut-nakuti petani lainnya.
Tanah yang diusahakan kembali ke fungsinya oleh para perempuan itu, oleh pemerintah dialihfungsikan dengan dalih pembangunan ekonomi. Di kota, bekas tanah-tanah kas desa ditukar guling ke pihak swasta menjadi pertokoan dan perumahan. Kejadian ini merembet ke desa, dengan dalih pembangunan sektor pariwisata, para pemodal dibantu pemerintah membangun tempat wisata diatas lahan pertanian. Untuk memperlancar akses kesana, dilakukan penggusuran melalui pelebaran jalan yang menggunakan Perpres 36/2005 dan 65/2006 revisinya. Pelaksanaan yang mempersepsikan aturan tersebut atas kepentingan pemerintah sendiri menuai konflik di masyarakat. Perempuan yang sebenarnya terlibat sebagai pewaris tidak dilibatkan dalam musyawarah, dan saat mereka berani mengajukan tuntutan oleh perangkat desa dicap negatif dengan dipersulit segala urusan yang berkaitan dengan pemerintahan.
Dengan kondisi obyektif di tingkat lokal, bagaimana pengaruh globalisasi sudah mengakar dan awalnya menjadi harapan hidup sejahtera bagi masyarakat. Nyatanya yang terjadi adalah lokalisasi kemiskinan. Miskin itu bukan turunan atau takdir Tuhan, tapi terbentuk secara sistematis dalam kebijakan global yang saling kait-mengkait bagai jaring laba-laba dan mematikan bagai bisa tarantula.
Globalisasi menggambarkan pemiskinan. Miskin itu gambaran pedesaan. Miskin itu gambaran perempuan. Miskin itu gambaran perempuan pedesaan.
Dian Pratiwi Pribadi - September 2006