09 December 2008

Penindasan Petani oleh Kapitalis melalui Benih

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang basis produksi terbesarnya adalah bahan pangan. Singkatnya, sejak merdeka 60 tahun lalu, para petani terus dikondisikan untuk tertindas oleh negara, mulai dengan dibekukannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Revolusi Hijau, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan terakhir dengan diberlakukannya Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah yang jelas-jelas tidak berpihak pada rakyat. Hal-hal tersebut semakin menjadikan petani terpuruk dengan kondisinya yang memang sudah termarjinalkan dan selalu menjadi korban dari aturan yang ada.
Perjanjian antara Indonesia dengan WTO yang menghasilkan Agreement on Agriculture (AoA) semakin memperparah kondisi pertanian di Indonesia. Dalam persetujuan tersebut dinyatakan tentang sertifikasi tanaman yang hanya bisa diajukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau orang-orang borjuis yang mempunyai modal banyak, karena biayanya yang tidak sedikit, sebagaimana dikukuhkan dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Pada saat disepakatinya AoA tersebut masih belum terlihat dampaknya bagi petani secara langsung, namun dalam beberapa tahun terakhir kesepakatan tersebut membawa korban petani.
Baru-baru ini beberapa petani jagung di wilayah Kediri dan sekitarnya telah diajukan ke pengadilan oleh PT. BISI dengan tuduhan melakukan sertifikasi tanaman jagung jenis BISI secara ilegal atau tanpa ijin dari pihak PT. BISI. Sampai saat ini beberapa diantara petani sedang menjalani hukuman masa percobaan (Husen, Dawam, Slamet, Heru, Tukirin, Suprapto, dll.), ditahan 1 orang (Djumidi) sejak 1 Agustus 2005 dan keluar tanggal 28 Agustus 2005, pelimpahan kasus ke kejaksaan (Budi Purwo Utomo), dan masih banyak lagi kasus yang tidak berani diungkapkan oleh para korban maupun yang belum terdeteksi. Apabila dibiarkan terus-menerus, tidak mustahil akan semakin banyak petani yang digugat oleh perusahaan benih tersebut.
Padahal mereka hanya mencoba mengembangkan jagung di ladang mereka sendiri, sebagaimana yang dituturkan oleh para korban. Mereka melakukan percobaan menanam jagung non-label dengan alasan benih jagung berlabel terlalu mahal. Mereka mendapatkan pengetahuan penanaman melalui petunjuk yang diperoleh dari buku (wawancara dengan Pak Budi) atau pengalaman selama bekerjasama dengan PT. BISI yang kemudian diputuskan begitu saja tanpa klausul-klausul perjanjian yang jelas (wawancara dengan Pak Tukirin). Maka berdasarkan pengetahuan dan pengalaman tersebut, mereka menanam benih yang tidak bersertifikat. Pada saat tanaman mereka tumbuh dengan baik, PT. BISI dengan semena-mena mengklaim bahwa cara penanaman mereka telah melanggar sertifikasi yang diajukan oleh PT. BISI dan benih yang mereka tanam adalah benih Bisi dengan tanpa mengadakan uji laboratorium terlebih dulu (sudah di cek ke BPSB tidak ada pengujian jagung mengenai jenisnya baru-baru ini). Tidak selesai sampai disitu, mereka juga diajukan ke pengadilan.
Selama ini petani tidak tahu apabila kasus yang mereka alami merupakan bentuk penindasan oleh perusahaan (yang mewakili para kapitalis) terhadap petani melalui benih, sehingga tercipta kondisi agar petani tergantung pada benih berlabel yang sangat mahal harganya dan tentunya itu sangat menguntungkan mereka dan antek-anteknya. Selain itu, jagung-jagung berlabel sendiri tidak pernah mencantumkan bagaimana cara tanam, ciri tanaman yang membedakan antara satu dengan yang lain, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan sertifikasi. Artinya, petani sengaja dibodohi agar tidak tahu tanaman yang mereka tanam sendiri dan tidak bisa melakukan penangkaran benih sehingga terus membeli benih dari mereka yang sekali lagi tentu saja menguntungkan mereka. Lebih-lebih mereka bisa dengan sengaja melakukan tuntutan kepada para petani seenak mereka sendiri tanpa melalui mekanisme atau aturan yang ada. Ini adalah gambaran sedikit tentang nasib mereka dan masih banyak kasus-kasus lain yang dialami petani sampai saat ini, misalnya tentang air, tanah dan hutan.
Kawan.......melihat sistem yang diterapkan oleh “Antek-antek Globalisasi” dan oknum Pemerintah yang dikondisikan bisa tidak bisa harus “mendukung” mereka, maka lengkap sudah penderitaan “Pahlawan Pangan” kita. Apakah nurani kita terpanggil untuk berpihak pada mereka..??????

No comments:

Post a Comment