09 December 2008

Penindasan Petani oleh Kapitalis melalui Benih

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang basis produksi terbesarnya adalah bahan pangan. Singkatnya, sejak merdeka 60 tahun lalu, para petani terus dikondisikan untuk tertindas oleh negara, mulai dengan dibekukannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Revolusi Hijau, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan terakhir dengan diberlakukannya Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah yang jelas-jelas tidak berpihak pada rakyat. Hal-hal tersebut semakin menjadikan petani terpuruk dengan kondisinya yang memang sudah termarjinalkan dan selalu menjadi korban dari aturan yang ada.
Perjanjian antara Indonesia dengan WTO yang menghasilkan Agreement on Agriculture (AoA) semakin memperparah kondisi pertanian di Indonesia. Dalam persetujuan tersebut dinyatakan tentang sertifikasi tanaman yang hanya bisa diajukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau orang-orang borjuis yang mempunyai modal banyak, karena biayanya yang tidak sedikit, sebagaimana dikukuhkan dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Pada saat disepakatinya AoA tersebut masih belum terlihat dampaknya bagi petani secara langsung, namun dalam beberapa tahun terakhir kesepakatan tersebut membawa korban petani.
Baru-baru ini beberapa petani jagung di wilayah Kediri dan sekitarnya telah diajukan ke pengadilan oleh PT. BISI dengan tuduhan melakukan sertifikasi tanaman jagung jenis BISI secara ilegal atau tanpa ijin dari pihak PT. BISI. Sampai saat ini beberapa diantara petani sedang menjalani hukuman masa percobaan (Husen, Dawam, Slamet, Heru, Tukirin, Suprapto, dll.), ditahan 1 orang (Djumidi) sejak 1 Agustus 2005 dan keluar tanggal 28 Agustus 2005, pelimpahan kasus ke kejaksaan (Budi Purwo Utomo), dan masih banyak lagi kasus yang tidak berani diungkapkan oleh para korban maupun yang belum terdeteksi. Apabila dibiarkan terus-menerus, tidak mustahil akan semakin banyak petani yang digugat oleh perusahaan benih tersebut.
Padahal mereka hanya mencoba mengembangkan jagung di ladang mereka sendiri, sebagaimana yang dituturkan oleh para korban. Mereka melakukan percobaan menanam jagung non-label dengan alasan benih jagung berlabel terlalu mahal. Mereka mendapatkan pengetahuan penanaman melalui petunjuk yang diperoleh dari buku (wawancara dengan Pak Budi) atau pengalaman selama bekerjasama dengan PT. BISI yang kemudian diputuskan begitu saja tanpa klausul-klausul perjanjian yang jelas (wawancara dengan Pak Tukirin). Maka berdasarkan pengetahuan dan pengalaman tersebut, mereka menanam benih yang tidak bersertifikat. Pada saat tanaman mereka tumbuh dengan baik, PT. BISI dengan semena-mena mengklaim bahwa cara penanaman mereka telah melanggar sertifikasi yang diajukan oleh PT. BISI dan benih yang mereka tanam adalah benih Bisi dengan tanpa mengadakan uji laboratorium terlebih dulu (sudah di cek ke BPSB tidak ada pengujian jagung mengenai jenisnya baru-baru ini). Tidak selesai sampai disitu, mereka juga diajukan ke pengadilan.
Selama ini petani tidak tahu apabila kasus yang mereka alami merupakan bentuk penindasan oleh perusahaan (yang mewakili para kapitalis) terhadap petani melalui benih, sehingga tercipta kondisi agar petani tergantung pada benih berlabel yang sangat mahal harganya dan tentunya itu sangat menguntungkan mereka dan antek-anteknya. Selain itu, jagung-jagung berlabel sendiri tidak pernah mencantumkan bagaimana cara tanam, ciri tanaman yang membedakan antara satu dengan yang lain, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan sertifikasi. Artinya, petani sengaja dibodohi agar tidak tahu tanaman yang mereka tanam sendiri dan tidak bisa melakukan penangkaran benih sehingga terus membeli benih dari mereka yang sekali lagi tentu saja menguntungkan mereka. Lebih-lebih mereka bisa dengan sengaja melakukan tuntutan kepada para petani seenak mereka sendiri tanpa melalui mekanisme atau aturan yang ada. Ini adalah gambaran sedikit tentang nasib mereka dan masih banyak kasus-kasus lain yang dialami petani sampai saat ini, misalnya tentang air, tanah dan hutan.
Kawan.......melihat sistem yang diterapkan oleh “Antek-antek Globalisasi” dan oknum Pemerintah yang dikondisikan bisa tidak bisa harus “mendukung” mereka, maka lengkap sudah penderitaan “Pahlawan Pangan” kita. Apakah nurani kita terpanggil untuk berpihak pada mereka..??????

07 December 2008

Pentingnya PPT sebagai Wujud Perlindungan Perempuan dan Anak

Perempuan selama ini merupakan kelompok yang terpinggirkan karena konteks sosial budaya yang patriarkhal. Hal ini mengakibatkan perempuan lebih sering mengalami kekerasan secara sosial, budaya ekonomi bahkan politik. Di sisi lain, anak-anak juga merupakan kelompok masyarakat yang rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan.
Kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kenyataannya makin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari POLRESTA Kediri, pada tahun 2004 tercatat 4 kasus (3 anak), 11 kasus (5 anak) di tahun 2005, pada tahun 2006 meningkat menjadi 21 kasus (12 anak) dan sampai bulan Juli 2007 telah tercatat 14 kasus. Kemudian KIBAR melakukan penggalian masalah secara partisipatif di Kota Kediri yang menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan akan semakin meningkat dari waktu ke waktu karena mulai ada kesadaran perempuan dan masyarakat akan adanya tindak kekerasan yang melanggar aturan hukum serta tidak sesuai etika moral dan agama. Kasus kekerasan juga merupakan fenomena gunung es, yakni angka yang muncul hanyalah puncaknya, yang ada di bawah permukaan jumlahnya jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan sedikitnya korban yang melaporkan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, karena secara budaya dianggap aib dan tabu.
Pada saat yang sama muncul paradigma baru di era reformasi bahwa kewajiban pemerintah dalam melakukan upaya perlindungan perempuan dan anak juga merupakan kewajiban semua pihak untuk mendukungnya. Pemerintah harus bertindak proaktif, baik sebagai fasilitator, regulator maupun operator dalam hal perlindungan perempuan dan anak. Pemerintah juga harus mengikutsertakan partisipasi masyarakat, karena masyarakat yang lebih mengetahui dan memahami apa yang mereka butuhkan.
Dibentuknya Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Kota Kediri merupakan salah satu wujud tanggung jawab pemerintah. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Kediri Nomor 557 Tahun 2006, tugas KPPA salah satunya adalah untuk memfasilitasi pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Kota Kediri.
Adanya Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan sangat penting artinya sebagai suatu manifestasi kepedulian terhadap perempuan dan anak agar bisa berdaya untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. PPT merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan pelayanan terpadu kepada korban kekerasan berupa pelayanan medis, pelayanan hukum, pelayanan psiko-sosial, pemberdayaan ekonomi dan pelayanan informasi.
Secara top-down, kebutuhan adanya PPT dilandasi dasar hukum sbb.:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang merupakan ratifikasi dari Convension on The Elimination on All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979 oleh PBB
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Keputusan Bersama 3 Menteri dan Kapolri Nomor 14/Meneg Pemberdayaan Perempuan/Dep.V/X/2002, Nomor 1329/MENKES/SKB/X/2002, Nomor 75/HUK/2002, Nomor POL.B/3048/2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
5. Surat Gubernur Jawa Timur Nomor 411.2/1208/206/2003 tanggal 3 Februari 2003 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2T-P2A)
6. Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/145/KPTS/013/2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Propinsi Jawa Timur
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
8. Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 034/169/201.4/2004 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak di Kabupaten/Kota se- Jatim
9. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
10. Surat Keputusan Walikota Kediri Nomor 557 Tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Kediri
11. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 28 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
12. Surat Gubernur Jawa Timur Nomor 411.2/5028/032/2007 tanggal 30 April 2007 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Kabupaten/Kota se-Jawa Timur.
Secara bottom-up, proses pembentukan PPT didukung oleh Lembaga Kediri Bersama Rakyat (KIBAR) bermitra dengan Paguyuban Peduli Perempuan Kota Kediri (P3K2) melalui upaya-upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam advokasi anggaran untuk Perlindungan Perempuan dari Kekerasan.

03 December 2008

Sosok Petani Perempuan Mandiri

Bu Suin & suaminya bersama penulis di lahan jagung organiknya

Profil Ibu Warsu’in menggambarkan seorang petani perempuan yang mandiri ditengah kehidupan yang makin sulit bagi petani Indonesia. Bu Su’in, begitu dia biasa dipanggil, sekarang berusia 40 tahun dan mempunyai dua orang anak. Anak laki-laki pertamanya baru saja menikah dan anak perempuannya masih duduk di bangku SD. Bu Su’in bersama suami dan anak-anaknya hidup tenteram di Lingkungan Pesantren, Dukuhan Petungsewu, Dusun Besuki, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Sebelum menikah, Bu Su’in tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Klethak, Desa Kanyoran, Kecamatan Semen yang bertetangga dengan Kecamatan Mojo.
Kehidupan Bu Su’in sungguh tenang dan nyaman di kaki Gunung Wilis dengan ketinggian 700 dpl yang sejuk dan segar udaranya, sejauh 25 km dari Kota Kediri. Sebagai seorang petani yang hidup turun-temurun dari bertani, Bu Su’in belajar dari orang tuanya, dari masyarakatnya, dari alamnya. Dinamika kehidupan manusia juga dialami oleh Bu Su’in, meski hidup jauh dari perkotaan dimana perubahan dan arus informasi berlangsung dengan cepat.
Berbekal tanah seluas kurang lebih 1/8 hektar, Bu Su’in membangun kehidupan bersama keluarganya dengan bertani. Karena Desa Jugo hanya berjarak sekitar 10 km dari ibukota kecamatan, maka teknik bertani yang dipraktekkan relatif sama seperti informasi dari Penyuluh Pertanian setempat dan yang diterapkan oleh mayoritas petani di desanya. Revolusi Hijau yang menjadi Kebijakan Pembangunan Pertanian Pemerintah Indonesia sejak tahun 1980-an masih diterapkan dalam praktek bertani sekarang ini, meski makin lama dirasakan makin sulit meraih keuntungan bagi petani akibat makin tingginya biaya produksi. Apalagi dampak atas penggunaan input kimia buatan ke lahan pertanian makin membuat lahan tandus atau ‘bantat’.
Suatu saat Bu Su’in mengikuti pertemuan kelompok ibu-ibu Dukuhan Besuki yang biasanya diisi dengan tahlilan dan arisan, namun saat itu disisipi pemaparan tentang Pertanian Organik oleh seorang staf LSM di akhir pertemuan. Atas dasar kesadaran akan keberlanjutan kehidupan yang lebih baik dengan menerapkan pola bertani yang lebih ramah lingkungan, maka kelompok sepakat mensolidkan diri menjadi kelompok tani perempuan Wilis Tani. Aktivitas selanjutnya di kelompok ini adalah mengembangkan Pertanian Organik yang berkelanjutan, yaitu pada awalnya praktek berbagai macam resep pembuatan pupuk dan pestisida organik kemudian menerapkannya di lahan dan tanaman. Ada juga ide untuk mengolah hasil pertanian mereka menjadi makanan dengan nilai ekonomi lebih tinggi.
Pada prosesnya kemudian, dari sekian anggota kelompok Wilis Tani, Bu Su’in lah yang paling rajin dan telaten dalam menerapkan Pertanian Organik di lahannya bersama keluarganya serta mengembangkan pengolahan produk pertanian. Pembuatan dan pemakaian Pupuk Ragi Kusno, berbagai pestisida dari bahan alami, benih jagung buatan sendiri, pengembangan ternak sapi dan kambing serta pengolahan keripik gothe menjadi andalan peningkatan pendapatan bagi Bu Su’in dan keluarganya.. Bu Su’in akhirnya sering mengikuti berbagai pertemuan dan pelatihan terkait pengembangan pertanian bersama LSM sehingga bermanfaat bagi peningkatan kapasitasnya sebagai seorang petani, mulai di tingkat desa sampai keluar kota. Dalam bertani, Bu Su’in sudah bisa mencapai 100% pemakaian input organik di lahannya dengan peningkatan produksi yang cukup signifikan Bu Su’in mulai dipandang oleh warga di lingkungannya sebagai seorang petani yang sukses dan maju. Bahkan karena posisi rumah tempat tinggalnya cukup strategis, menjadi jalan persimpangan bagi banyak petani untuk bertanya dan menggali ilmu yang dimiliki Bu Su’in sehingga dia bisa berhasil seperti itu.
Suara Bu Suin di Gedung DPRD
Mulai terlihat perubahan dari sisi kepribadian Bu Su’in. Kalau sebelumnya dia adalah seorang yang pendiam, rendah diri, susah bicara, bahkan sampai sakit-sakitan saking groginya bila berada didepan publik, Bu Su’in menjadi sosok yang penuh percaya diri, bicara lantang, tegas dan teratur, pemberani serta berkemauan keras dan penuh optimisme. Bu Su’in terasah oleh semangat kerja kerasnya mengelola usaha taninya dan tempaan oleh masyarakat yang sering berinteraksi dengannya. Ditengah lingkungan pedesaan yang masih menomorduakan suara perempuan, Bu Su’in menjadi bunga diantara rerumputan. Dalam forum yang didominasi oleh laki-laki, Bu Su’in memberi warna hingga mampu mempengaruhi pengambilan keputusan.
Ketangguhan Bu Su’in makin tampak pada saat terjadi kasus penggusuran tanah oleh Pemkab Kediri dengan tujuan untuk pelebaran jalan menuju akses tempat wisata. Pada tahun 2005 itu mulai ramai kontroversi penerapan Perpres 36 mengenai pengambilan tanah masyarakat untuk kepentingan umum. Kebijakan ini mengancam kedaulatan petani sehingga bisa menurunkan taraf hidupnya. Implementasinya di Desa Jugo pun ruwet, berbeda antar dusun satu dengan lainnya sehingga terlihat seperti mengadu domba masyarakat. Sebagai seorang perempuan yang hak penguasaannya atas salah satu aset produksi yaitu tanah diabaikan, Bu Su’in membela diri diantara para laki-laki Kepala Keluarga. Bersama beberapa warga yang menjadi korban penggusuran, Bu Su’in mengorganisir diri dalam satu kelompok untuk melakukan advokasi ke pemerintah. Puncaknya terjadi pada momentum Hari Tani 2005 dengan melakukan peringatan sekaligus aksi massa dan Hearing ke DPRD Kabupaten Kediri bersama kelompok-kelompok tani dari desa lain mengangkat berbagai permasalahan terkait petani, kasus yang terjadi di Jugo mencuri perhatian. Pasca aksi massa, kasus tersebut mulai ditangani oleh Camat dan anggota DPRD setelah sebelumnya mereka diam.
Meski begitu, harapan dari para korban banyak yang tidak terpenuhi. Hal ini juga dialami Bu Su’in yang menjadi
Warung Bu Suin di lokasi strategis
berpikir bahwa tidak bisa mengandalkan pihak lain bila kita ingin memperbaiki taraf hidup. Atau dengan kata lain Bu Su’in sudah memiliki pola pikir kemandirian. Berbekal kesadaran kritis seperti ini, Bu Su’in kini mampu membangun kehidupan keluarganya dengan cara menjual pupuk organik, memelihara ternak, membuka warung makanan dan sebagai pengelola program peningkatan ekonomi oleh Pemerintah Desa. Apa yang dilakukan Bu Su’in menjadi inspirasi bagi warga desanya yang mulai meninggalkan pertanian bahkan menjual tanahnya ke orang luar desa, tetap bertahan sebagai seorang petani perempuan dengan kemandiriannya.

Dian Pratiwi Pribadi

BEBASKAN PETANI!!!

... .. ♪.. ...
Ayo kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita
♪ ...Ambil cangkulmu ...ambil pangkurmu
Kita bekerja tak jemu-jemu... ♪
♪ Cangkul cangkul cangkul yang dalam...
Menanam jagung di kebun kita...


PETANI adalah tulang punggung bagi keberlangsungan hidup bangsa. Apa yang terjadi bila mereka meniru perilaku orang-orang tamak, seperti perilaku para penindasnya selama ini, dan sepakat untuk tidak menjual hasil tanamannya?? Maka kita akan kelaparan!!!....Itulah kekuatan para PETANI yang seringkali diremehkan. Apabila mereka bersatu untuk mengambil haknya, maka tidak ada lagi halangan yang merintanginya.
Pada saat ini, para PETANI sudah cukup bersabar dengan penindasan yang dialaminya. Harga kebutuhan hidup mereka terus melonjak naik, sementara harga hasil panen mereka dihargai serendah-rendahnya. Subsidi pupuk mereka dihapuskan, pengairan mereka dikenai pajak, sumber air mereka dijual pemerintah dan membuat benih pun dilarang hanya demi keuntungan perusahaan-perusahaan tertentu. Apa maksudnya ???? Apa PETANI tidak boleh kreatif??? Apa PETANI tidak boleh mandiri ???? atau......PETANI sengaja dibodohkan ???
Dan...PT. BISI telah mengajukan para PETANI ke pengadilan dengan tuduhan memalsukan benih jagung BISI dan meniru cara tanamnya -padahal itu memang cara pembenihan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita- bahkan dengan sengaja mengantarkan para PETANI ke penjara. Padahal, mereka coba mengembangkan kemampuan mereka “memuliakan tanaman”, sekaligus demi memperingan harga beli benih yang sangat mahal.
Maka...hanya ada kata “LAWAN PENINDASAN TERHADAP PETANI” dan menuntut:
1. Berikan hak petani untuk memilih dan menciptakan benih sendiri
2. Naikkan harga hasil panen petani
3. Ubah kebijakan yang menindas petani
4. Selesaikan kasus-kasus petani secara adil
HIDUP RAKYAT...!!!
Dan bersatulah rakyat..........
Bersatulah PETANI ................
Rebut hak-hakmu yang dirampas negara
Rebut hak-hakmu yang dirampas kaum kapitalis dan pemodal....!!!

01 December 2008

Pertanian Organik

I. Definisi
Pertanian yang selaras dengan alam, menghargai prinsip-prinsip yang bekerja di alam, dalam proses budidayanya menselaraskan pada keseimbangan ekologi, keanekaragaman varietas, serta keharmonian dengan iklim dan lingkungan sekitar, semaksimal mungkin menggunakan bahan-bahan alami yang terdapat di alam sekitarnya, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan kimia sintetis (buatan/pabrikan) untuk pertanian).
Pertanian organik bukan sekedar teknis/metode bertani melainkan juga cara pandang, sistem nilai, sikap dan keyakinan hidup. Pertanian organik memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling tergantung dan menghidupi, dimana manusia adalah juga bagian didalamnya.
Pertanian organik tidak menolak penggunaan teknologi modern, sejauh teknologi modern tersebut selaras dengan prinsip pertanian organik yaitu: keberlanjutan, ramah lingkungan, kesimbangan ekosistem, keanekaragaman varietas, kekhasan lokal, kemandirian dan kebersamaan. Maka, baik kearifan tradisional dan teknologi modern yang tunduk pada prinsip alam, keduanya mendapat tempat dalam pertanian organik.
Gerakan pertanian organik menghimpun seluruh usaha petani dan pelaku lain, yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan asupan dari luar yang meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat.
Gerakan pertanian organik juga berusaha menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah dan menggunakan sumber daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian.
Gerakan pertanian organik juga mendorong kemandirian dan solidaritas diantara petani sebagai produsen. Mandiri untuk tidak tergantung pada perusahaan-perusahaan besar penyedia pupuk, bahan agrokimia dan bibit. Solidaritas untuk berdaulat dan berorganisasi untuk mencapai kesejahteraan, pemenuhan hak dan keadilan sosial bagi petani.
II. Prinsip-Prinsip
Dalam pengembangan pertanian organik prinsip-prinsip yang dianut adalah :
a. Terbentuknya sebuah sistem pertanian yang mampu berproduksi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang tak terbatas, serta tetap menjamin keamanan pangan bagi suatu komunitas.
b. Produksi yang dihasilkan memiliki kualitas nutrisi yang tinggi, tidak ada atau sedikit sekali kandungan bahan-bahan pencemar kimia dan bakteri yang membahayakan kesehatan manusia.
c. Perlakuan yang diberikan manusia dalam sistem tidak merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, tidak menghilangkan biodiversitas dan sedapat mungkin mengurangi ketergantungan kepada penggunaan bahan-bahan sintetis dan/atau sumber daya alam yang tak terbarukan.
d. Sistem yang dikembangkan mampu mendukung keberlanjutan kehidupan masyarakat pedesaan secara ekonomi, demikian pula secara sosial harus benar-benar layak bagi masyarakat setempat. Disamping itu, teknologi yang dirakit tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat.
e. Pembangunan sistem itu hendaknya dapat meningkatkan kesempatan kerja dan keadilan berusaha, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani.
f. Pada akhirnya sistem yang dibangun harus mampu melestarikan sumber daya alam dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di pedesaan sehingga tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Meskipun prinsip-prinsip umum suatu sistem pertanian berkelanjutan dapat dimengerti dengan mudah, penilaian di lapangan sangat sulit dilakukan jika tidak ada kriteria yang jelas untuk itu. Suatu sistem pertanian berkelanjutan dapat dinilai dari beberapa sifat dan ciri-cirinya, meliputi produktivitas, keamanan, keberlanjutan dan identitas pengelolaannya.
1. Produktivitas
a. Jumlah produksi yang diambil dari suatu sisitem usaha tani tidak melebihi maximum sustainable yield dan maximum sustainable catch, tetapi harus disesuaikan dengan daya dukung alami suatu daerah. Jumlah itu tidak hanya dalam satu jenis produksi, tetapi dalam keragaman berbagai jenis komoditi.
b. Teknologi yang digunakan dalam proses produksi dapat memanfaatkan semaksimal mungkin berbagai proses alami seperti hubungan predator dan mangsa, daur biologi, mekanisme keseimbangan jasad renik tanah, fiksasi nitrogen dan lain-lain.
c. Teknologi yang digunakan dapat memenuhi kebutuhan petani untuk memperbaiki ketersediaan pangan dalam jumlah maupun mutunya. Teknologi itu juga harus dapat memperbaiki dan/atau mempertahankan produk-produk sekunder seperti obat-obatan, bahan bangunan, kayu bakar, tanaman penutup tanah dan lain-lain.
d. Produksi pertanian untuk dipasarkan tidak melebihi 50% dari total produksi, dengan demikian tidak menimbulkan ketergantungan petani kepada pasar. Walaupun demikian harus ada ketersediaan pasar yang relatif dekat dengan lokasi produksi, serta harga produk menguntungkan petani.
e. Tersedia lahan yang cukup bagi petani sebagai pemilik untuk memproduksi hasil pertanian, baik dilihat dari jumlah luas maupun kualitas tanah.
2. Keamanan
a. Teknologi itu harus dapat meniadakan atau sekurang-kurangnya meminimalkan masukan yang berpotensi membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat, baik petani maupun konsumen. Jaminan keamanan lingkungan itu tidak hanya didalam lingkup kegiatan, tetapi juga diluar itu.
b. Teknologi yang digunakan sedapat mungkin mengurangi resiko kegagalan berusaha tani oleh hama, penyakit dan iklim, serta tidak menyebabkan punahnya plasma nutfah.
c. Teknologi yang digunakan harus disertai kemampuan untuk mengatasi masalah lingkungan yang ditimbulkan.
d. Sistem pertanian yang digunakan didasarkan pada penggunaan sumber-sumber lokal seperti tanah, air, sumber-sumber genetik, pengetahuan dan ketrampilan, dan seluruhnya berada dibawah kontrol petani.
e. Sistem yang digunakan dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap jenis informasi, input sarana produksi, subsidi, kredit bahkan pasar.
3. Keberlanjutan
a. Sistem pertanian yang dikembangkan dapat memelihara keberlanjutan kualitas tanah, menyangkut kehidupan mikoroorganisme, status kimiawi unsur-unsur hara makro dan mikro, serta kondisi fisika tanah.
b. Jenis masukan yang digunakan dalam proses produksi tidak berasal dari bahan kimia sintetis yang mencemarkan lingkungan. Rasio energi keluaran terhadap energi masukan tergolong tinggi, tetapi input dari luar tergolong rendah.
c. Ada praktek daur ulang terhadap sisa bahan organik yang ada dan tindakan yang efektif untuk mencegah kehilangan tanah, hara dan air melalui penanaman tanaman penutup tanah, dan tindakan konservasi tanah dan air.
d. Pembudidayaan tanaman dan ternak dilakukan secara efisien dengan mengeliminir penggunaan air dan melakukan pengaturan drainase.
e. Teknik bercocok tanam yang dikembangkan tetap memelihara keanekaragaman genetik.
f. Teknologi yang dikembangkan mempunyai efek positif terhadap lingkungan karena menggunakan sumber-sumber yang dapat diperbarui, tidak menimbulkan polusi air, udara dan tanah.
4. Identitas
a. Teknologi bersifat khas sesuai kondisi ekosistem setempat, terintegrasi dengan kondisi masyarakat, tidak hanya dilihat dari aspek teknik-ekologi, tetapi juga sosial-ekonomi, dan kondisi petani sendiri.
b. Petani memiliki akses dan kontrol untuk menentukan kebutuhan masukan dalam sistem usaha taninya, baik jenis input yang sudah tersedia, maupun yang harus diadakan. Demikian pula, petani memiliki akses dan kontrol dalam menentukan preferensi penggunaan terhadap output-nya sendiri
c. Jika ada introduksi teknologi dari luar harus sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat dan memperkuat budaya pertanian lokal (yang bernilai positif). Nilai budaya itu dapat dilihat dari organisasi sosial yang ada, sistem religius, preferensi (pilihan) dan persepsi masyarakat tentang keadilan sosial.
d. Sistem pertanian yang dikembangkan dapat menciptakan peluang kerja yang cukup memadai dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan bukan sebaliknya.

Aktivitas Petani Pedesaan

Seluruh masyarakat juga sudah mengetahui bahwa Profesi petani masih sangat dibutuhkan di bumi Negeri tercinta, Indonesia ini. Terbukti nasi dan segala sayur mayur masih menjadi bahan makanan pokok warga Indonesia tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi dari jaman ke jaman, sepertinya profesi yang satu ini nasibnya akan semakin dijauhi oleh generasi di masa mendatang. Karena dinilai tidak dapat menjamin kehidupan masa depan yang lebih baik lagi, atau bahkan dianggap kuno, atau mungkin juga kampungan. Sebuah fenomena yang ironis sekali. Di satu sisi kenyataan bahwa seluruh warga Indonesia hampir menggantungkan isi perutnya terhadap "nasi" yang merupakan hasil produksi pertanian dari buah tangan para petani, akan tetapi kita sendiri cenderung enggan dan acuk tak acuh terhadap segala permasalahan yang dihadapi oleh petani itu sendiri.
Petani, pahlawan pangan tak dikenang
Berita saat ini yang sedang menghangat adalah LANGKANYA PUPUK yang beredar di masayarakat petani. Di tengah keadaan yang semakin sulit seperti saat ini justru dimanfaatkan oleh distributor untuk menumpuk keuntungan sebesar-besarnya demi kekayaan pribadi untuk membuat harga pupuk semakin mahal, agar petani tidak mampu membeli dan terpaksa membeli dengan harga yang mahal. Padahal hal itu bisa merugikan petani yang dampaknya justru mereka tidak bisa memproduksi padi lagi sebagai sumber bahan makanan pokok kita.Kini, di tengah kondisi yang memilukan, petani toh tetap bercocok tanam, walau tidak harus menanam padi. Apapun bisa ditanam demi mengganjal perut keluarga mereka.

Alfi Rohmah - Finance